Dari Gempolkerep - Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa
Gerakan 30 September Tahun 1965. Ingin lebih mengenal Jendral A. H. Nasution, silahkan teruskan membaca!
Biografi Jendral Nasution di
Wikipedia :
Jenderal Besar TNI (
Purn.)
Abdul Haris Nasution (lahir di
Kotanopan,
Sumatera Utara,
3 Desember 1918 – meninggal di
Jakarta,
6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa
Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya
Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya,
Lettu Pierre Tendean.
Nasution merupakan konseptor
Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun
1958 yang kemudian diadopsi selama pemerintahan
Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali
sipil, namun pada saat yang sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah
kediktatoran militer.
Bersama
Soeharto dan
Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal
5 Oktober 1997, saat ulang tahun
ABRI.
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut,
Kotanopan,
Kabupaten Mandailing Natal,
Sumatera utara,
dari keluarga
Batak Muslim.
Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya.
Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi,
dan merupakan anggota dari organisasi
Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di
Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di
Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke
Bandung
untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun.
Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya
dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh
Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di
Bengkulu,
ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang
berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian
Nasution pindah ke
Tanjung Raja, dekat
Palembang, di mana ia melanjutkan mengajar, namun ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.
Pada tahun 1940,
Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial
Belanda
membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia.
Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk
mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia
lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada
bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian
menjadi
sersan. Dia kemudian menjadi seorang
perwira di
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Pada tahun 1942 Jepang
menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di
Surabaya,
ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution
kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia
takut ditangkap oleh
Jepang. Namun, ia kemudian membantu milisi
PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.
Baca Juga : Optimalisasi Bisnis Online dengan Facebook
Divisi Siliwangi
Setelah Soekarno memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional
Divisi Siliwangi,
yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution
mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin
pertahanan
Tentara Nasional Indonesia pada masa depan.
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani
Perjanjian Renville, membagi
Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk
Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke
Jawa Tengah.
Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat
Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal
Soedirman.
Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan
April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan
Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan
perang gerilya melawan Belanda disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran
sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat
Peristiwa Madiun.
Kota Madiun di
Jawa Timur diambil alih oleh mantan
Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan
Musso dari
Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah kabar itu sampai ke Markas TKR di
Yogyakarta,
diadakan pertemuan antara perwira militer senior. Soedirman sangat
ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi dilakukan. Soedirman
kemudian menugaskan
Letnan Kolonel Soeharto, untuk menegosiasikan kesepakatan dengan
komunis.
Setelah melakukan perjalanannya, Soeharto kembali ke Nasution dan
Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai. Nasution
tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution
sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim
pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari
Divisi Siliwangi. Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh adalah
Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya seperti
DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta
dan kemudian mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para
komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang
gerilya. Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta ditawan Belanda,
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di
Sumatera.
Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan
Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas
kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan
Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima
Soedirman.
Baca Juga : 35 Cara Pasang Iklan di Facebook Lengkap
Periode pertama sebagai KSAD
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat, dengan
T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang. Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk
ABRI.
Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk
menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan
profesional.
[15]
Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah
kolonial Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang
dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda.
Namun hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan
prajurit yang dilatih oleh Jepang.
Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana Menteri
Wilopo dan Menteri Pertahanan
Hamengku Buwono IX. Namun, Bambang Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Para anggota DPR kemudian mulai membuat perbedaan pendapat
mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak
senang melihat apa yang mereka anggap sebagai campur tangan urusan
militer oleh warga sipil.
Selanjutnya, silahkan
klik wikipedia di sini!